Home / OPINI

Jumat, 19 Agustus 2022 - 09:17 WIB

“Mimpi Panjang” Multi Partai Sederhana

Oleh Agus Sutisna

Pertengahan Juni lalu tahapan Pemilu 2024 dilaunching, dan saat ini salah satu tahapan pentingnya sedang berlangsung. Yakni proses pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik peserta Pemilu.

Perhari ini puluhan partai politik, lama dan baru, telah mendaftarkan dirinya ke KPU RI dan secara simultan langsung diverifikasi secara administrasi.

Selanjutnya, partai-partai yang lolos verifikasi administrasi, kecuali 9 (sembilan) parpol yang lolos parliamentary threshold, wajib diverifikasi secara faktual oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Berdasarkan data akun Sipol (Sistem Informasi Partai Politik) yang wajib dimiliki setiap Parpol sebelum mendaftar ke KPU, tercatat 48 Parpol telah memiliki akun Sipol, yang terdiri dari 40 Parpol nasional dan 8 Parpol lokal (Aceh).

Jika semua Parpol ini jadi mendaftar dan lolos semua, maka Pemilu 2024 akan terus memperpanjang praktik multipartai ekstrim dalam lanskap sejarah elektoral nasional.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, fenomena Pemilu dengan multipartai sistem memang tidak bisa dihindari.

Ia adalah keniscayaan sosiopolitik berdasarkan asumsi teoritik dalam tradisi demokrasi, bahwa kemajemukan lintas basis (etnik, ras, agama, kedaerahan, kelas sosial dll) secara alamiah pastilah akan terejawantahkan dalam konfigurasi (dan dengan sendirinya juga dalam jumlah) partai politik.

Mengutip pandangan Miriam Budiardjo (2002), perbedaan tajam antar ras, agama, atau suku-suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja.

Pola multi partai dianggap lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai. Multi partai sistem memberi ruang yang luas dan jalan yang lapang bagi beragam pilihan dan aspirasi politik warga sesuai preferensi berbasis orientasi-orientasi primordialistik tadi.

Dan ini tentu saja sah dalam tradisi demokrasi.
Kerap menjadi masalah kemudian ketika sistem multi partai ini bergerak terlalu bebas ke arah yang ekstrim. Terlebih jika dikombinasikan dengan sistem Presidensil.

Giovanni Sartori menyebut sistem multi partai ekstrim ini dengan istilah polarized pluralism (sistem multi partai dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi).

Baca juga  KPU Banten Kumpulkan KPU Kabupaten dan Kota, Ini yang Dibahas

Terma ini merujuk pada dua aspek, polar (kutub) berkenaan dengan jumlah dan polarisasi berkenaan dengan jarak ideologi. Artinya sistem multi partai ekstrim ditandai oleh banyaknya jumlah partai politik (kutub) yang sekaligus juga merepresentasikan jarak ideologi antar partai yang jauh.

Beberapa problematika yang kerap muncul dari penerapan sistem multi partai ekstrim antara lain terjadi dalam kerangka penyelenggaraan Pemilu, baik pada aspek perencanaan, penganggaran, manajemen logistik, pengaturan kampanye, pelaksanaan pungut hitung suara, bahkan juga terus mengalir ke sisi hilir Pemilu, yakni penyelesaian sengketa dan perselisihan hasil Pemilu.

Selain terhadap aspek teknikalitas elektoral, Pemilu dengan multi partai sistem yang ekstrim juga potensial melahirkan konfigurasi kekuatan politik yang relatif seimbang di parlemen lantaran sulitnya melahirkan partai pemenang Pemilu dengan perolehan suara yang memadai untuk membentuk pemerintahan.

Akibatnya koalisi harus dibentuk untuk membangun blok-blok kekuatan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan. Dan celakanya, koalisi yang terbentuk dalam situasi seperti ini biasanya cenderung hanya diadasarkan pada praktik-praktik transaksional antar partai/fraksi di parlemen.

Dalam analisis yang lebih jauh lagi, bangunan koalisi transaksional semacam ini juga biasanya mengakibatkan relasi pemerintah-parlemen menjadi kurang sehat, dan ujungnya penyelenggaraan pemerintahan menjadi kurang efektif.

Penyederhanaan Sistem Kepartaian
Merespon dampak tak sehat dari sistem multipartai ekstrim sejak era reformasi 1998 bergulir, pelbagai kebijakan politik sebagai langkah penyederhanaan sistem kepartaian telah coba dilakukan sejak Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik.

Dalam kajian Hadar Gumay dkk setidaknya ada 5 (lima) strategi struktural yang pernah ditempuh. Pertama memperberat syarat pendirian partai politik. Kedua, Memperberat syarat partai politik berbadan hukum. Ketiga, memperberat syarat partai politik untuk menjadi peserta Pemilu.

Keempat, memperberat ambang batas partai politik untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya (electoral threshold). Kelima, memperberat ambang batas partai politik untuk dapat mengirimkan wakilnya ke parlemen (parliamentary threshold).

Namun hingga Pemilu terakhir 2019 lalu jumlah partai politik tidak pernah kurang dari 10 parpol. Secara teoritik jumlah ini dianggap masih ekstrim dibandingkan dengan kutub kalkulatif dari para ahli.

Baca juga  Kabar Gembira Jelang Pemilu 2024, Bantuan Keuangan Parpol Naik

Sejak Pemilu 1999 berturut-turut jumlah parpol peserta Pemilu (tidak termasuk parpol lokal Aceh) adalah sbb : Pemilu 2004 (24), Pemilu 2009 (38), Pemilu 2014 (12), dan Pemilu 2019 (16).

Meski tak hanya soal numerikal karena sistem kepartaian juga berkaitan erat dengan aspek konfigurasi ideologi partai, para ahli pada akhirnya juga sampai pada kesimpulan perihal berapa jumlah ideal partai politik dalam sistem multi partai sederhana, yang dalam kategori Sartori disebut dengan istilah Moderat Pluralism.

Michael Coppedge (2012) misalnya menyebut jumlah ideal itu antara 3 sampai 5 partai politik.
Argumentasi Coppedge berbasis pada asumsi umum seputar gagasan moderat pluralism Sartori atau yang juga dikenal dengan istilah Moderat Multiparty Systems. Yakni sistem kepartaian yang dicirikan oleh gejala bipolar secara ideologis dengan arah kompetisi yang bersifat sentripetal.

Ramlan Surbakti menjelaskan yang dimaksud dengan bipolar adalah kegiatan aktual suatu kepartaian yang bertumpu pada dua kutub meskipun jumlah partai lebih dari dua karena sistem kepartaian ini tidak memiliki perbedaan ideologi yang tajam.

Atau jika merujuk pada penjelasan Steven B. Wolinetz, sistem multipartai sederhana itu dicirikan oleh adanya dua kutub (polar) idelogis yang masing-masing berkompetisi memenangkan suara di tengah dengan 3 (tiga) sampai 5 (lima) partai politik yang relevan atau yang secara ideologis berdekatan.

Bagaimana sistem kepartaian kita memasuki perhelatan Pemilu 2024 ini ? Dengan merujuk kembali pada data di awal artikel ini, dimana terdapat 40-an jumlah partai nasional (plus 8 parpol lokal Aceh) yang sudah memiliki akun Sipol dan sebagian besarnya sudah mendaftar ke KPU, dapat dipastikan Pemilu 2024 masih akan tetap dengan multipartai ekstrim.

Dengan demikian harapan publik untuk ber-Pemilu dengan sistem multipartai sederhana tampaknya masih akan menjadi “mimpi panjang”, setidaknya untuk satu periode elektoral pasca Pemilu 2024 nanti, komplit dengan segala dampak elektoral politiknya.***

Penulis, Komisioner KPU Banten

SHARE:

Share :

Baca Juga

OPINI

Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi
Founder SDQ Amirul Mukminin Fadlullah

OPINI

Pancagatra Sekolah Al Qur’an Amirul Mukminin

BANTEN

Belajar dari Kasus Kekerasan Bank Keliling di Pandeglang

OPINI

RSB, Ikhtiar BAZNAS Banten Membangun Klinik Tanpa Kasir

OPINI

Cendekiawan dan Dialog

OPINI

Cendekiawan dan Konflik

OPINI

Cendekiawan dan Toleransi

OPINI

Cendekiawan dan Moderasi Beragama