Home / OPINI

Selasa, 16 Agustus 2022 - 06:52 WIB

Mengintip Tuhan di Atas Tangga

Oleh Fauzul Iman

Sejarah ketidakpercayaan pada Tuhan atau kepada sesuatu yang gaib (degaibisasi) seakan marak kembali terjadi di abad modern ini.

Bahkan semakin menguat penentangannya
dibanding kemampuannya dengan sains dalam mengatasi segala persoalan kehidupan.

Mengintip Tuhan di atas Tangga merupakan bentuk tindakan sarkasme Firaun, manusia paling sombong di zaman Musa.

Konon ia mencari Tuhan-Nya Nabi Musa AS dari kanan, kiri, dari depan belakang tidak pernah ditemukannya.

Lalu ia dengan congkak memerintahkan para pengawalnya untuk memasang tangga agar dapat mengintip Tuhan Musa dari atas tangga/bangunan tinggi (Q.S 40 : 36). Pun tak pernah ditemukannya.

Di abad sains ini lebih berat lagi berhadapan dengan kecanggihan sains sendiri yang menganulir peran adanya Tuhan.

Para saintis sudah tidak percaya kematian sebagai peristiwa metafisik. Yuval Noah Hariri , seorang pemikir dari Universitas Ibrani Yerussalem, penulis buku Sapiens dan Homo Deus menyatakan peristiwa kematian tidak ada kaitannya dengan keputusan ilahi.

Dalam sejarah agama manusia , kata Hariri, kematian dipandang takdir dan begitu penting saat hembusan nafas berakhir.

Dari kematian itu, mereka meyakini rahasia kehidupan dapat ditangkap sehingga dengan cara itu manusia mendapatkan keselamatan yang kekal atau penderitaan yang kekal.

Baca juga  Cendekiawan dan Konflik

Kematian, menurut Hariri , bukan peristiwa metafisik tapi soal tehnis karena jantung tidak lagi bisa memompa darah.

Ketersediaan oksigen tidak sampai ke otot jantung. Kangker menggerogoti sel darah karena terjadi mutasi genetik.

Demikian juga virus yang menimpa paru-paru saya, tegas Hariri , bukan karena takdir melainkan virus yang berasal dri para pengendara bus.

Sejak revolusi ilmiah terjadi kematian demi kematian makin dapat diatasi. Dahulu angka kematian bayi karena cacar dan campak mencapai 700 bayi dari 1000.

Kini, kata Hariri , hanya empat bayi yang meninggal dari dari 700. Lebih jauh Hariri menyatakan ke depan umat manusia tidak lagi percaya pada tokoh agama untuk mengadukan apapun keluhan kejiwaan apalagi terkait kesehatan berat.

Orang akan lebih percaya pada laboratorium yang sudah canggih menemukan vaksin untuk mengalahkan kematian.

Apakah Tuhan, tanya Hariri, harus diintip dari tangga atau dari bangunan yang bermenara gading?

Sungguh ini merupakan tantangan berat bagi umat beragama dan sekaligus peluang untuk para cendekiawan muslim lebih mendalami dan menguasai sains dan agama secara fundamental dan lebih mendalam.

Baca juga  Kaum Cendekiawan, Siapa Mereka?

Apalagi di era yang makin menipisnya kepercayaan umat pada agamanya sebagai sebuah solusi kehidupan.

Bergesernya kepercayaan umat manusia pada sains sebagai satu-satunya solusi yang dapat memecahkan problem kehidupan cepat atau lambat akan mendistorsi akidah generasi mendatang.

Perguruan tinggi Islam terutama lembaga UIN yang sudah memiliki fakultas sains sejatinya sudah melangkah jauh untuk melakukan identifikasi dan menjawab tantangan terberat ini.

Sudahkah makna integrasi antara sains dan agama di dalamnya mengantisipasi dan mengidentifikasi guna menjawab munculnya stigmatika dan distorsi antara sains dan agama.

Atau malah makin menjauh menuju ke totalitas distorsi yang mengancam ketidakberdayaan kita sendiri dalam meletakan peran Tuhan ke dalam dunia sains.

Inilah barangkali yang dimaksud dengan peringatan firman Tuhan, “sungguh mereka sebelum itu mengingkari Tuhan dan mendustakan yang ghaib dari tempat nan jauh” (Q.S . 34 : 53).***

Penulis Guru Besar dan Rektor UIN SMH Banten 2017-2022

SHARE:

Share :

Baca Juga

OPINI

Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi
Founder SDQ Amirul Mukminin Fadlullah

OPINI

Pancagatra Sekolah Al Qur’an Amirul Mukminin

BANTEN

Belajar dari Kasus Kekerasan Bank Keliling di Pandeglang

OPINI

RSB, Ikhtiar BAZNAS Banten Membangun Klinik Tanpa Kasir

OPINI

Cendekiawan dan Dialog

OPINI

Cendekiawan dan Konflik

OPINI

Cendekiawan dan Toleransi

OPINI

Cendekiawan dan Moderasi Beragama