Oleh: A.M.Romly
Seorang Cendikiawan bukan orang sembarangan, sebab ia menduduki tempat yang tinggi di masyarakat
Pada mulanya umat Kristen dan umat Budha memberi tahu penulis, selaku Ketua FKUB Provinsi Banten, tentang dibentuknya organisasi Cendekiawan tingkat Provinsi Banten. Umat Kristen akan membentuk Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) dan umat Budha membentuk Keluarga Cendekiawan Budhis Indinesia (KCBI).
Dalam banak penulis, dua organisasi yang akan dibentuk ini adalah organisasi terpelajar yang sangat diperlukan dalam memelihara kerukunan umat beragama.
Dua berita gembira ini mendorong penulis untuk mengetahui lebih jauh apa yang disebut kaum Cendekiawan itu dan menuangakannya dalam tulisan. Namun penulis merasa ragu, apakah mampu.
Namun penulis tidak bisa bertopang dagu berpangku tangan. Malu akan sindiran Patrice Besson, penulis kolom di majalah Le Point, yang mengatakan : Le plus agreable dans la vie, c’est de ne rien faire et juger ce que les autres font – Yang nyaman dalam hidup itu kita tidak melakukan apa-apa, kemudian menilai apa yang dilakukan orang lain.
Kata Cendekiawan, kata Lukan Ali, diambil dari nama orang, yakni Canakya. Ia adalah seorang Menteri pada zaman pemerintahan Candra Gupta di India, abad ke-4. Ia terkenal pintar dan bijak berkata-kata. Lalu canakya menjadi sebutan bagi orang yang cerdas dan pandai seperti Canakya.
Dalam perjalanan waktu canakaya menjadi cendekia. Kemudian Cendekiawan menjadi sebutan bagi orang cerdik pandai. Menurut penulis, Cendekiawan merupakan padanan istilah bagi intelengensia, clerc dan intelektual.
Intelegensia
Menurut Ron Eyerman, istilah intelegensia lahir di Rusia menjelang pertengahan abad ke-19, yang menunjuk kepada kelompok pemikir dan penulis.
Kelompok kecil ini meyandang identitas kolektif selama pemerintahan Peter Agung. Dasar identitas kolektif ini adalah pendidikan dan suatu orientasi ke arah kebudayaan Eropa yang modern, khususnya ilmu dan teknologinya.
Kelompok ini kemudian diidentifikasikan dan mengidentifikasikan diri mereka sebagai “intelegnesia”.
Adapun yang memperkenalkan istilah intelegensia di Indonesia adalah Bung Hatta.
Menurut Dawam Rahardjo, ketika berbicara pada tahun 1957 di Universitas Indonesia, Bung Hatta menampilkan istilah “intelegensia”, ke arena percaturan pemikiran.
Kedudukan dan peranannya istimewa, tetapi mengimplikasikan tanggungjawabnya., yaitu mencari dan membela kebenaran.
Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ujar Bung Hatta, ia (intelegensia) ikut serta bertanggungjawab tentang perbaikan nasib bangsa.
Dan sebagai warga yang terpelajar, tanggungjawabnya adalah intelektuil karena mereka dianggap golongan yang mengetahui, dan tanggungjawab moril yakni mengenai keselamatan masyarakat, sekarang dan kemudian.
Intelektual
Pada mulanya Julian Benda memperkenalkan suatu kata, Clerc, yang berasal dari Abad Tengah Eropa, dalam bukunya La Trahison des Clercs.
Pada tanggal 14 Januari 1898 surat kabar l’Aurore menyiarkan Manifeste des Intellectuels yang ditandatangani sekelompok pengarang.
Manifeste ini menyanggah proses Alfred Dreyfus, seorang perwira tantara Perancis yang tahun 1894 diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada agen rahasia Jerman.
Mereka menuntut agar Dreyfus dibebaskan dari tuduhan itu dan dipulihkan kehormatannya. Tuntutan mereka berhasil.
Sejak disiarkannya Manifeste itu lahir kata intellectual. Menurut Bernad-Henri Lévy, kata: Intellectuel, catégorie sociale et culturelle née à Paris au moment de l’affair Dreyfus – (Kata) intelektual, merupakan kategori sosial dan budaya lahir di Paris pada zaman peristiwa Dreyfus.
Benda sendiri tetap memakai kata Clerc, tidak memakai kata intellectuel. Kata Clerc berasal dari bahasa Yunani klerikos yang artinya kecendekiawanan.
Pengertian Clerc ujar Benda, tidak hanya dikenakan kepada para pendeta penulis, melainkan kepada kelas terpelajar Prancis. Clerc adalah semua orang yang mencari kegembiraannya dalam mengolah seni atau ilmu atau renungan-renungan metafisisik.
Gunawan Muhammad menyebutkan bahwa pengertian Clerc dan Intelaktual (dan menurut penulis termasuk juga intellegensia) mengandung makna “orang yang berilmu”- yang dalam bahasa Arab agaknya dekat dengan pengertian ulama.
Ulama
Kata Ulama (bentuk jamak dari kata “Alim) terdapat dalam al-Quran, yang berarti (orang yang) mengetahui secara jelas. Ibnu ‘Asyur dan Thabataba’i memahami bahwa kata Ulama dalam arti yang mendalam ilmunya.
Kemudian, gelar ‘Ulama ditujukan kepada orang-orang yang yang memunyai ilmu pengetahuan luas dalam bidang apa saja.
Dalam al-Quarn kata ’Ulama diartikan dengan orang-orang yang mengerti tentang ilmu pengetahuan alam semesta.
Dalam kitab suci al-Quran, Allah menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang mendalam ilmunya.
Mereka dipandang sebagai kelompok penting di masyarakat yang berfungsi sebagai motivator dan penggerak pembangunan umat.
Cendekiawan
Istilah Cendekiawan tidak asing bagi bangsa Indonesia. Karena kata Cendekiawan sudah menjadi kosa kata bahasa kita. Kata tersebut digunakan untuk menunjuk orang yang berilmu pada umumnya.
Seorang Cendikiawan bukan orang sembarangan, sebab ia menduduki tempat yang tinggi di masyarakat. Kaum Cendekiawa ada di berbagai tempat.
Mereka ada di birokrasi sipil, di kepolisian di ketentaraan, di lembaga-lembaga masyaakat, dan di masyarakat luas.
Pengetahuannya diabdikan untuk kepentingan kemanusiaan dan manusia secara umum, bukan untuk kepentingan pribadi, kelmpok atau golongannya.
Kalau tidak demikian, meskipun berpengetahuan luas dan mendalam, menurut penulis mereka bukan cendekiawan.
Kaum Cendekiawan selalu berpikiran dan berbuat untuk kemaslahatan manusia. Jika mereka berpikiran dan berbuat untuk menyengsarakan dan menghancurkan umat manusia, meskipun mereka luas dan mendalam pengetahuannya, menurut penulis mereka bukan cendekiawan.
Mereka juga adalah orang-orang yang istiqamah, teguh pendiriannya, selalu mimihak kepada kebenaran, keadilan dan akal sehat.
Kalau tidak demikian dan pemikirannya hanyut terbawa arus pemikiran orang ramai, menurut penulis mereka bukan cendekiawan.
Kaum Cendikiawan adalah sosok manusia yang selalu berpikiran dan berbuat untuk kemaslahatan umat manusia.
Semboyan mereka, kalau dapat dikatakan demikian, adalah amal ilmiah dan ilmu amaliah. Bekerja harus berdasarkan ilmu, dan imu harus diwujudkan dalam kenyataan tata lahir.
Bisa jadi banyak pihak yang tidak puas, bahkan tidak setuju mengenai ciri-ciri kaum Cendekiawan yang penulis gambarkan.
Itulah pemahaman dan sekaligus juga pendirian penulis mengenai sosok makhluk yang satu ini. Kalau banyak yang tidak berkenan, mohon maaf atas kelemahan penulis yang tidak mampu memuaskan semua orang. Kata orang Spanyol: Nunca llueve a gusto de todos – Sulit untuk menyenangkan semua orang.***
Penulis, Ketua FKUB Provinsi Banten