Home / OPINI

Minggu, 15 Oktober 2023 - 21:58 WIB

Cendekiawan dan Konflik

Ketua FKUB Provinsi Banten H AM Romly

Ketua FKUB Provinsi Banten H AM Romly

Oleh Dr H AM Romly

Salah satu hal yang harus terus diwaspadai kaum Cendekiawan dalam interaksi sosial adalah timbulnya konflik terbuka. Tetapi apa itu konflik?

Dalam Ensiklopedia Indonesia kata konflik berasal dari kata bahasa Latin conflictio, artinya saling bertentangan, saling berlawanan. Jadi konflik merupakan hubungan antar dua pihak atau lebih (individu dan kelompok) yang memiliki tujuan yang bertentangan.

Konflik bisa terjadi ketika kepentingan atau keinginan seseorang atau kelompok tidak terpenuhi: kekuasaan, identitas, pengakuan oleh orang lain.

Konflik politik berkaitan dengan upaya mencari, mempertahankan, dan memanfaatkan kekuasaan. Konflik sosial ekonomi berkaitan dengan kepentingan yang tidak sama, perebutan sumberdaya, aturan atau sistem sosial yang tidak jelas.

Konflik sosial sering dipicu juga oleh sebab-sebab: benturan budaya, permasalahan politik, dan kesenjangan ekonomi.

Faktor-faktor yang berperspektif budaya dan bisa menimbulkan konflik: penghinaan terhadap kelompok tertentu, menonjolkan kepentingan kelompoknya saja, propaganda untuk menjatuhkan budaya suatu kelompok.

Dalam perbincangan ini kita akan lebih banyak berbicara mengenai konflik keagamaan. Para Cendekiawan, khususnya Cendekiawan yang ada di Kementerian Agama telah berpikir keras mengidentifikasi konflik yang satu ini dan cara-cara meredamnya.

Konflik Keagamaan
Para Cendekiawan Kementerrian Agama telah merumuskan makna konflik keagamaan ini. Menurut mereka konflik keagamaan adalah pertentangan yang menggunakan simbol-simbol keagamaan.

Simbol keagamaan ini sangat luas, bisa berupa ajaran agama, bisa kitab suci agama, ritual, prilaku keagamaan dan tradisi keberagamaan.

Sifat konflik keagamaan selalu ekspresif, dinamis dan dialektis. Konflik keagamaan tidak pernah bersifat statis, sebab konflik keagamaan selalu menuntut partisan konflik untuk mencari jalan penyelesaian konflik.

Menurut para Cendekiawan yang ada di Kementerian Agama, sekurang-kurangnya ada tujuh bentuk tindakan religious intolerance yang bisa menimbulkan konflik.

Pertama, menyebarkan informasi yang salah tentang ajaran atau praktik keagamaan, meski ketidakakuratan informasi dapat diperiksa dengan mudah.

Kedua, menyebarkan kebencian terhadap suatu kelompok atau anggota suatu kelompok; misalnya menyatakan atau menyiratkan bahwa semua atau sebagian anggota kelompok tertentu jahat, berprilaku immoral, melakukan tindak pidana dan sebagainya.

Baca juga  Dua Bupati Absen Presentasi Monev KIP 2023

Ketiga, mengejek dan meremehkan kelompok keagamaan tertentu misalnya mengenai kepercayaan dan praktik keagamaan yang mereka lakukan.

Keempat, mencoba untuk memaksakan keyakinan dan praktik keagamaan kepada orang lain agar mengikuti kemauan mereka.

Kelima, membatasi hak asasi manusia (HAM) anggota kelompok agama yang bisa diidentifikasi.

Keenam, mendevaluasi agama lain sebagai tidak berharga atau jahat. Ketujuh. menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka.

Selanjutanya mereka menyatakan, bahwa ada beberapa hal yang bisa menimbulkan konflik dalam suatu agama. Pertama, munculnya sekte, mazhab dan gerakan agama baru atau cult.

Gerakan ini merupakan gerakan yang menyimpang dari mainstream, tertutup dan mengontrol kepribadian anggotanya secara ketat.

Kedua, persoalan pemahaman teks keagamaan. Sebagian yang memahaminya secara literal (harfiyah) dan yang lain memahaminya dengan melihat konteksnya.

Ketiga, tafsir tentang kebenaran dan persoalan ajaran agama. Tafsir tentang kebenaran ini tidaklah tunggal, sehingga konflik bisa terjadi bukan saja dalam interaksi antar umat beragama, tetapi juga dalam hubungan intern umat beragama.

Dalam kaitan ini kaum Cendekiawan yang ada di Kementerian Agama dan di tempat lain berupaya mengembangkan pola keagamaan yang healthy-minded (jiwa yang sehat), yang akan menimbulkan sikap-sikap: humanis, iknklusif, dialogis. Konflik keagamaan harus benar-benar dihindari karena akan mngakibatkan disintegrasi, perpecahan antar sesama bangsa, dan benturan sosial.

Pengaruh Faktor Luar
Selain dipengaruhi faktor dari dalam yang berasal dari ajaran agama, konflik keagamaan juga bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Beberapa di antaranya adalah faktor-faktor ekonomi, politik, budaya dan konstruksi sosial.

Adapun faktor ekonomi yang bisa menjadi pemicu konflik pada dasarnya berkaitan dengan dua aspek.

Pertama, ekonomi sebagai sebab adanya konflik sosial. Kedua, sistem ekonom yang diskriminatif. Sedangkan faktor politik dalam memicu konflik adalah adanya lembaga politik yang diskriminatif, adanya ideologi eksklusif dalam sistem negara yang berpengaruh, persaingan kelompok yang semakin tajam dan adanya politik elit.

Baca juga  Patut Dicontoh, Warga Sekampung Berangkat Haji Bareng

Selanjutnya, faktor sosial dan budaya juga bisa menjadi pemicu konflik. Faktor sosial, misalnya stratifikasi sosial, adanya perbedaan kepentingam dan adanya perubahan sosial. Faktor budaya pun bisa menjadi pemicu konflik jika berkaitan dengan pola diskriminasi budaya yang kuat serta sejarah kelompok yang bermasalah.

Upaya mengatasi konflik
Salah satu potensi dari dalam agama yang akan mengganggu kerukunan adalah penyiaran agama. Karena semua pemeluk agama mempunyai hak dan kewajiban untuk menyiarkan agamanya.

Kalau ini terhalang, maka mereka akan merasa bahwa kebebasannya dirampas.
Sejak akhir tahun 60-an para Cendekiawan yang ada dalam Pemerintahan dan Majlis-Majlis Agama telah bekerja keras membahas gagasan bahwa penyiaran agama tidak dilakukan kepada orang yang telah menganut suatu agama, tetapi tidak pernah menjadi kesepakatan. Gagasan yang sangat peka ini selama puluhan tahun terus diperbincangkan dalam musyawarah-musyawarah, tetapi masalah penyiaran agama yang tidak bijak menjadi latent sehingga berpotensi menjadi bom waktu yang membahayakan persatuan bangsa.
Namun masalah yang telah menjadi latent tersebut dapat dipecahkan setelah diadakan Musyawarah Besar Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa, yang diselenggarakan Kantor Utusan Khusus Presiden RI Untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban.

Musyawarah Besar Pemuka Agama tersebut menyepakati: “Pemuka Agama memandang bahwa penyiaran agama hendaknya tetap dalam semangat menghormati dan menghargai agama lain, serta menghindari berbagai cara yang dapat menimbulkan prasangka saling merebut umat agama lain, dan tidak menggunakan simbol-simbol khas agama lain dalam penyiaran agama. Dengan demikian penyiaran agama tidak mengganggu kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama.” Selanjutnya dalam keputusan Musyawarah tersebut, para pemuka agama dan umat beragama menyatakan tekadnya untuk melaksanakan dan mengawal kesepakatan tadi.***

Penulis, Ketua FKUB Provinsi Banten

SHARE:

Share :

Baca Juga

OPINI

Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi
Founder SDQ Amirul Mukminin Fadlullah

OPINI

Pancagatra Sekolah Al Qur’an Amirul Mukminin

BANTEN

Belajar dari Kasus Kekerasan Bank Keliling di Pandeglang

OPINI

RSB, Ikhtiar BAZNAS Banten Membangun Klinik Tanpa Kasir

OPINI

Cendekiawan dan Dialog

OPINI

Cendekiawan dan Toleransi

OPINI

Cendekiawan dan Moderasi Beragama

OPINI

Cendekiawan dan Kerukunan