Oleh Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Bagai Kayu Bersandar merupakan kalimat perumpamaan yang diucapkan Tuhan di depan kaum munafik yang banyak bertingkah dengan selalu menebarkan aroma berita yang tidak sedap didengar umat islam.
Setiap kata yang dilepaskan dari busur mulut kaum munafikin hanyalah muntahan-muntahan basi yang berisi virus membahayakan.
Perilaku hipokritnya menjadi jualan harian yang bergimik kebohongan dan membenturkan fitnah antara di depan Nabi dan di depan publik.
Di depan Nabi berbaiat ingin berjihad. Di depan umat memprovokasi dengan sikap pengecutnya untuk tidak ikut berjihad / berperang karena menurut kaum munafik perang hanyalah menyerahkan nyawa kematian.
Tuhan menyingkap dalam firmannya kedok kaum munafik hanya tampan di gestrur performance. Memikat di untian nada- nada janji, caci dan provokasinya. Namun semua performan yang didisain kaum munafikin di tengah publik itu tak bersubtansi nyali. Lapuk dan licik di hati . Lumpuh di nalar. Jauh dan lemah dari obsesi dan implementasi ihtiar. Mereka tidak lebih bagai kayu bersandar ( Q.S. 63 : 4).
Kayu bersandar itu boleh saja bersal dari kayu jati. Tongkrongannya kokoh. Batangnya tahan rayap. Tetapi membiarkan dirinya sekedar bersandar tidak punya literasi yang bermakna apakah sebagai seni indah yang dipandang oleh komunitas. Ataukah menjdi komunitas yang bermnfaat di tengah-tengah publik.
Di era modern ini tipe kaum hipokrit/ munafik terlihat makin berderet menghiasi berbagai institusi. Kita tentu harus memulai dari diri berikhtiar untuk menghindari dan menecegah bahaya kemunafikan itu.
Setelah itu jangan biarkan di setiap institusi sosial benalu hipokrit bertumbuhan apa lagi di mega institusi negara yang sangat membutuhkan jaring pengokoh komunitas yang berintegritas steril dari segala kemunafikan.
Raghuram Rajan, mantan Gubernur Bank Central India, dalam bukunya The Third Pilar mengeritik dengan santun berapa banyak pohon di tebang ketika para pakar menulis buku perlunya hubungan bilateral antara pilar negara (state) dan pilar pasar (market).
Keritik Raghuram ini menyiratkan seolah adanya ketidakadilan yang mengabaikn komunitas sosial lain di luar pilar state dan pilar pasar. Kalimat betapa banyak pohon ditebang merupakan realitas kuatnya kekuasaan dibalik pilar state dan pilar pasar yang bebas menghabisi SDA hak rakyat. Padahal pilar state dan pilar pasar terlahir dari pilar komunitas sosial.
State pada awalnya terbentuk berdasarkan aturan yang dibuat bersama komunitas sosial. Tujuan dan misi bersama itu dituangkan ke dalam state untuk membangun kesejahteraan sosial di bawah unsur pimpinan yang bertanggung jawab dan berintegritas.
Bila dari unsur state, kata Raghuram, muncul penyelusup performance di tengah publik dengan janji yang memukau.
Kenyataan di belakang menyandar ke pilar pasar/oligarki hanya untuk mendapatkan pundi kekayaan. Berarti kangker kemunafikn dari kayu bersandar telah menggagalkan komunitas lain dan melanggengkan pilar state dan pasar.
Lalu dalam kata kunci buku itu menawarkan perlunya komunitas pengimbang ( the comunity in the balance) sebagai pilar lain yang steril dari karaktrer kayu bersandar.
Kata ini sejalan dengan pustaka konstitusi Tuhan empad belas yang lalu diturunkan pada Nabi Musa AS., “…kemudian kami wariskan kontititusi pada hamba kami yang terpilih, Nabi Musa”. “Satu diantara dua membangkang yaitu kelonpok oligarki ( zalimun linafsih). Dua lainnya merespon yaitu komunitas pengimbang ( muktashid) dan komunitas pemikir negara yang perofesional menjauhi karakter kayu bersandar dalam menjaga aset negara /sabiq al- khairat”. ( Q.S. 35 : 32). Wallahu A’lam.***
Penulis, Guru Besar UIN SMH Banten