Home / OPINI

Selasa, 16 Agustus 2022 - 22:01 WIB

Ahlu Sunnah Waljama’ah dan Pentingnya Sanad Keilmuan dalam Agama

Oleh Sukron Makmun

Pada 20 Juni 2022 lalu saya diminta jadi narasumber di acara Perwimawil-I, Sako Pramuka L.P. Maarif NU Provinsi Banten, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Modern Al-Mizan, Narimbang, Rangkasbitung-Lebak.

Materinya tentang ASWAJA (ahlu sunnah wal jama’ah). Di situ saya sampaikan, bahwa orang Indonesia, kebanyakan mengambil definisi ala Syeikh Nawawi Tanara al-Bantani (1813-1897/1230-1314 H) terkait Ahlu Sunnah (Sunni). Syeikh Nawawi membatasi ruang lingkup taklid hanya pada salah satu imam madzhab 4: Hanafi (699-767M), Maliki (711-795 M), Syafi’i (767-820 M) dan Hanbali (780-855 M).

Meskipun kenyataannya Madzhab Fikih di dunia Islam ada sekitar 16. Kenapa dipilih hanya 4 saja?

Ya, karena 4 madzhab itulah yang kontruksi keilmuannya paling jelas, mudah dicerna dan konsep istinbatu al-Ahkamnya telah terkodifikasikan dengan baik.

Teori hukum Islam (Islamic legal theory/ ushul fiqih)-nya paling terstruktur dan kokoh. Ciri ahlu sunnah waljama’ah menurutnya, dalam hal Tasawuf, mereka adalah pengikut Imam Abu al-Qasim Junaidi al-Baghdadi (220-298 H) dan Imam al-Ghazali al-Thusi (1058-1111M), sementara dalam hal Akidah/ Tauhid, mereka ber-ittiba’ pada Abu Hasan al-Asyari (878-936 M) dan Abu Manshur al-Maturidi (w. 944M).

Bolehkah, seandainya langsung merujuk ke al-Qur’an/ Hadits?

Tentu tidak bisa. Kita tidak mampu untuk itu. Kapasitas kita tidak mumpuni. Saat ini tidak ada mujtahid mutlak, sehingga seperti MUI atau di Daru al-Ifta’, Mesir, ijtihad selalu dilakukan secara kolektif untuk melahirkan suatu produk hukum (fatwa).

Tanpa ulama kita tidak akan mengenal Nabi (laula al-Ulama’ lama ‘arafna al-Anbiya’). Jika dalam kehidupan sehari-hari, percaya pada TV, internet untuk mengafirmasi sebuah informasi/ berita, apakah kita tidak boleh percaya ulama’, hanya karena mereka tidak ma’sum?

Tentu tidak demikian. Ulama memang manusia biasa, tapi produk hukumnya dibangun atas dasar ilmu.

Fatwa-fatwa ulama kontemporer biasanya bersifat konsorsium; gabungan dari para ulama’ dan para ahli/ profesional di bidangnya masing-masing. Tingkat akurasinya tinggi. Kemungkinan salah pasti ada, tapi kecil. Dan itu masih dalam ruang ijtihad.

Mengambil langsung dari al-Qur’an/ Hadits, itu ibarat kita sakit, tanpa resep dokter langsung beli obat dari warung kelontong/ apotek.

Baca juga  "Mimpi Panjang” Multi Partai Sederhana

Jika nasibnya tidak mujur, akibatnya bisa berurusan dengan Izrail. Kita bisa tahu bahwa Nabi berpendapat demikian, begini begitu, tentu melalui guru-guru kita, mereka dari gurunya (para ulama) dst., sampai ke tabi’ tabi’in, tabi’in, para sahabat sampai ke Nabi.

Sanad Keilmuan Penting?

Dalam hal agama, ilmu harus bersanad, tidak bisa otodidak/ berdiri sendiri tanpa sandaran yang jelas, tanpa riwayat dari sumber yang kredibel (mu’tabar).

Tanpa ilmu yang mumpuni, kita tidak bisa jalan pintas (short cut) ambil langsung dari Qur’an/Hadits tanpa melalui ulama. Kecuali keilmuan dan kesalehan kita memang setara dengan Imam Syafi’i, itu lain cerita. Tapi itu hampir dipastikan mustahil.

Al-Ghazali yang begitu masyhur pun –bahkan kata Prof. Sayyidain, “Di dunia Islam, setelah Ghazali belum ditemukan lagi ulama (scholars) yang sekomprehensif dan seotoritatif Ghazali.”– tetap memplokamirkan dirinya sebagai pengikut Madzhab Syafi’i.

Demikian juga Imam al-Bukhari, ahli hadits termasyhur itu…beliau juga bermadzhab Syafi’i. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani juga demikian. Ibarat mobil, kalau kondisinya tidak prima jangan sekali-kali lewat jalan tol (highway). Lewat tol memang lebih cepat, tapi akibatnya juga sangat fatal.

“Apakah Rasul pernah memberi rekomendasi, agar kita mengikuti Imam Syafi’i?”, tanya seorang santriwati. “Secara eksplisit, tentu tidak. Imam Syafi’i belum lahir, Al-Ghazali apalagi.

Tapi Rasul (HR.Muslim) pernah bersabda, “inna hadza al-Ilma dinun. Fanzhuru ‘amman ta’khudzu dinakum (ilmu ini, bagian dari agama, hati-hatilah kalian; dari siapa kalian mengambil/ mendapatkannya)”, jawab saya.

Sanad merupakan sesuatu yang krusial. Ilmu agama, pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadits harus melalui guru (sanad) yang musalsal sampai ke sumber aslinya.

Bahkan sebagian besar ulama tidak membolehkan menafsirkan al-Qur’an bi al-Ra’yi, harus bi al-Nash-s-i. Begitu juga kata Abdullah bin Mubarak dalam suatu kesempatan, “al-Isnad min al-Din laula al-Isnad la-qala man sya’a ma sya’a (sanad adalah bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad, maka siapapun bisa bicara semaunya)”.

Lalu, kenapa harus NU? Ya, karena yang paling saya ketahui, untuk konteks Indonesia, sanad keilmuan agama yang paling valid (kredibel) ya, di NU. Kitab-kitab fiqih (Islamic jurisprudence) yang dikaji di pesantren-pesantren tradisional itu sanadnya musalsal.

Baca juga  Bacaan Niat Puasa Ramadan Beserta Tata Caranya, Menurut Pandangan Berbagai Madzhab

Dalam kajian seperti bahtsul masail, NU hanya menerima argumen-argumen yang sumbernya dari al-Kutub al-Mu’tabarah an sich. PBNU (c.q. LTMPBNU) pernah merilis “Silsilah Keilmuan Ahlusunnah Waljama’ah” yang sebenarnya adalah tabaqat al-Syafi’iyyah dari jalur Kyai Hasyim Asy’ari (w.1367 H).

Saya (al-faqir), misalnya, berguru dengan Kyai Ahmad Muthahhar bin Abdurrahman bin Qasidil Haq (1927-2005 M), nyambung ke atas, Kyai Mushlih bin Abdurrahman (1908-1981 M), Kyai Mahfuzh Termas, Syeikh Abu Bakar Syata, Sayyid Zaini Dakhlan, Syeikh Utsman al-Dimyathi sampai ke Imam Syafi’i (r.a).

Sedangkan Imam al-Syafi’i (ke atas): Imam Malik-Ibnu Syihab al-Zuhri-Imam Nafi’-Abdullah ibnu Umar (r.a.), seorang sahabat yang langsung berguru ke Rasulullah Saw. Dalam hal hadits, sanadnya juga nyambung ke Imam al-Bukhari dst.

Kyai-kyai pesantren-pesantren NU memiliki jaringan keulamaan yang kokoh, dan saling terkait di seluruh Nusantara. Ulama-ulama Nusantara yang sejak dulu dikenal adalah: Syeikh Nuruddin Arraniri (Aceh), Sumatera Selatan ada Syeikh Abdussamad al-Palembangi (1353 H), Kalimantan Selatan ada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710 M), di Sumatera Barat ada Syeikh Khatib al-Minangkabawi, di Jawa ada Syeikh Nawawi al-Bantani, al-Jawi (1230H-1314 H) dll. Tradisi sanad, dari dulu sampai sekarang masih terpelihara dengan sangat apik, terutama.di kalangan Nahdliyyin.

Tradisi sanad adalah sunnah para Nabi yang diteruskan oleh para ulama. Yang mengikuti jalan yang digariskan oleh Nabi dan para sahabatnya adalah Ahlusunnah Waljama’ah sejati, “ma ana ‘alaihi al-yauma wa ash-habi”.

So, mengikuti mereka (dan para ulama) adalah keharusan; fi aqwalihim wa af’alihim wa fima ta’awwaluuhu wa-stanbatuuhu, waqtifau atsarihim bathinan wa zhahiran. Fa man atha’a bi zhahirihi duna bathinihi fahuwa ‘asin” (Tanwiru al-Qulub, p.39-40).

Kalau amaliyahnya NU, fikrah dan harakahnya juga harus NU. Ber-NU artinya ber-Islam Ahlusunna Waljama’ah al-Nahdliyhah ‘ala ma alaihi al-Muassisun’. Jangan boxnya Hokben isinya tahu gejrot. Nahdliyyin adalah the living Ahlusunnah Waljama’ah dalam konteks Indonesia hari ini. To me, “NU is the only option”. What about you?***

Penulis, Wakil Ketua PWNU Banten dan Sekretaris MUI Provinsi Banten

SHARE:

Share :

Baca Juga

OPINI

Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi
Founder SDQ Amirul Mukminin Fadlullah

OPINI

Pancagatra Sekolah Al Qur’an Amirul Mukminin

BANTEN

Belajar dari Kasus Kekerasan Bank Keliling di Pandeglang

OPINI

RSB, Ikhtiar BAZNAS Banten Membangun Klinik Tanpa Kasir

OPINI

Cendekiawan dan Dialog

OPINI

Cendekiawan dan Konflik

OPINI

Cendekiawan dan Toleransi

OPINI

Cendekiawan dan Moderasi Beragama